Rekomendasi Restoran dan Bar Baru di Jakarta
Jakarta seolah tak pernah lelah menghadirkan tempat makan dan kongko anyar.
Teks & Foto: Yohanes Sandy
Masih pukul 06:55 saat saya tiba di kawasan Samran Rat yang masih lengang. Langit Bangkok belum terlalu terang, tapi antrean sudah mengular di depan sebuah warung mungil bernama Raan Jay Fai. Warung itu bahkan belum buka. Jam operasionalnya baru dimulai pukul 10:00. Di tangan saya, nomor antrean ke-16.
Saya sudah menduga akan ada antrean. Tapi bukan antrean sepanjang ini, dan tentu bukan di jam seperti ini. Di kota yang terkenal dengan semangkuk mi seharga seratus baht, tempat ini menyajikan telur dadar kepiting seharga 1.500 baht atau setara hampir Rp750.000. Angka yang cukup mengundang tanya, apalagi melihat tempat makannya: meja aluminium, kursi plastik, dan kipas angin tua yang menempel di dinding sebagai pengusir udara panas.
Tapi harga itu tak serta merta dipertanyakan ketika melihat satu fakta: Raan Jay Fai adalah satu-satunya warung pinggir jalan di Bangkok yang dianugerahi bintang Michelin, bukan Bib Gourmand. Penghargaan itu datang pada 2018, dan sejak itu, antrean tak pernah surut.
Warung ini dibuka oleh Jay Fai, yang kini berusia 81 tahun. Dulu, ia hanya menjual bubur dan mi dari resep ibunya. Perlahan, ia bereksperimen, menambah menu, menyempurnakan teknik, dan mulai mencari bahan terbaik dari penjuru negeri. Hasilnya: makanan-makanan dengan bahan terbaik, dimasak di atas bara api, dalam gaya yang tak berubah sejak dekade 1980-an.
Dapur dipegang hampir sepenuhnya oleh Jay Fai sendiri. Ia mengenakan pelindung mata berupa kacamata ski, ciri khas yang membuatnya mudah dikenali dari kejauhan. Di balik deretan kompor dan dinding seng semi-terbuka yang penuh noda minyak, ia menyiapkan masakan satu demi satu, tanpa terburu-buru, seolah waktu memang ia miliki sepenuhnya.
Saya perhatikan saat ia mengambil segenggam daging kepiting segar, menjatuhkannya ke wajan mendesis, lalu menuangkan telur yang sudah dikocok. Dengan cekatan ia membentuknya menjadi lonjong, seperti bola rugbi kecil berwarna keemasan. Tak banyak bicara, hanya gerak refleks seorang veteran dapur yang telah melakukan hal sama ribuan kali.
Pukul 11, giliran saya tiba. Saya dan pasangan duduk dan langsung memesan telur dadar legendaris itu, ditemani dua porsi nasi dan kee mao talay—kuetiau goreng pedas dengan udang tambun. Empat puluh menit kemudian, semua makanan keluar.
Ketika dibelah, telur dadar tersebut memperlihatkan lapisan daging kepiting yang luar biasa banyak. Bagian luar renyah, tapi bagian dalamnya lembut dan padat rasa. Tidak ada rasa berminyak, meski teknik penggorengannya jelas menggunakan banyak minyak. Kemahiran Jay Fai benar-benar terasa. Kee mao talay pun tak kalah menggoda: pedas, penuh aroma asap, dan sarat kejutan dalam tiap gigitan.
Saya meninggalkan tempat itu dengan perut kenyang dan hati ringan. Antrean di luar masih panjang. Beberapa orang sibuk mengambil gambar Jay Fai yang tetap fokus di dapur.
Apakah sepadan menunggu empat jam dan merogoh kocek sebesar itu demi seporsi telur dadar? Untuk saya, iya. Bukan hanya karena rasanya, tapi karena pengalaman dan orang di baliknya. Jay Fai, seperti warungnya, mungkin tidak akan ada selamanya. Ia sudah bilang, belum tentu usahanya tersebut ini akan ia wariskan.
Dan mungkin justru itu yang membuat rasa di piring saya terasa begitu berharga.—TFL Paper
Sebuah bursa pernikahan esklusif besutan The Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place. 27-29 Jun 2025
Semarak perayaan kuliner Buleleng di Canggu. 13 Jun-31 Jul 2025