“Wisman mulai lirik kawasan pedesaan di Jepang…”
Wawancara eksklusif bersama Yoshiko Iwamoto, Direktur Senior JNTO Jakarta.
Teks dan foto oleh Rachman Karim
Seandainya paman saya tidak menyebut nama Situ Cisanti, mungkin saya tak akan pernah menjejakkan kaki di danau yang tenang di kaki Gunung Wayang ini. Sabtu pagi itu, rencana keluarga kami hanyalah berlibur ke Bandung Selatan, tanpa menyadari bahwa kami akan mengunjungi titik nol Sungai Citarum—sumber air dari sungai terpanjang di Jawa Barat.
“Bukan sekadar danau,” ujar paman saya. “Itu tempat Sungai Citarum bermula.”
Kami berangkat sekitar pukul sembilan pagi dari kawasan Pasteur. Rute yang kami tempuh menembus Soreang, Banjaran, hingga Pangalengan—mengitari sisi barat dan selatan Gunung Puntang, lokasi stasiun radio pertama di Asia Tenggara. Jalan yang berkelok dan menanjak membuat perjalanan terasa panjang, sementara pemandangan kebun teh yang membentang menghadirkan kesejukan yang tak henti. Pemandangan yang asri menjadi pelipur saya yang tak disangka diserang mual akibat diombang-ambing di dalam mobil yang bermanuver mengikuti jalan berkelok.

Di antara hamparan hijau perkebunan, satu bangunan bergaya Art Deco menarik perhatian: Pabrik Teh Kertasari, warisan kolonial yang kini dikelola PT London Sumatra Tbk. Daun tehnya diolah menjadi Teh Kahuripan, salah satu kebanggaan lokal yang bisa ditemukan di pasar domestik.
Dua jam kemudian, aroma hutan pinus dan kayu putih menyambut kami begitu keluar dari mobil. “Itu eukaliptus,” kata ibu, menunjuk batang-batang tinggi dengan kulit terkelupas. “Baunya memang mirip kayu putih,” pungkasnya. Udara di sini memadukan kesegaran lembap dan hangatnya minyak alami—campuran yang segera membuat tubuh rileks.

Dengan luas sekitar tujuh hektare, Situ Cisanti sebenarnya adalah danau buatan, tetapi kisahnya menembus waktu hingga era Kerajaan Tarumanegara. Airnya bersumber dari tujuh mata air alami, yang kemudian mengalir ke Sungai Citarum sejauh hampir 300 kilometer, sebelum bermuara di Laut Jawa.
Salah satu mata air paling terkenal adalah Mata Air Pangsiraman, yang juga menjadi tempat ziarah. Telaga kecil ini diyakini sebagai petilasan Dipati Ukur, bangsawan Sunda dari abad ke-17 yang dikenal karena perlawanan terhadap VOC.
Kini, Situ Cisanti menjadi destinasi wisata alam Bandung Selatan yang kian dikenal. Fasilitasnya memadai: warung makan sederhana, area piknik, dan dermaga kecil untuk perahu karet. Pengunjung bisa menyusuri danau sejauh beberapa ratus meter, meski aktivitas berenang tidak diperkenankan demi alasan keamanan dan menjaga kelestarian airnya.


Perjalanan kami berakhir di sebuah dermaga kayu dengan latar hutan rimbun. Di hadapan terpampang papan besar bertuliskan “Kilometer 0 Citarum”, kontras dengan lanskap alami di sekitarnya. (Sebuah “karya” Instagramable khas pariwisata Indonesia). Saya duduk di bangku kayu, menyesap cokelat panas sambil memandangi air tenang yang memantulkan pemandangan langit.
Di tempat inilah, di antara pinus dan kabut tipis, saya menyadari makna sebenarnya dari perjalanan ini. Sungai Citarum, yang membentang dari Bandung hingga Karawang, tak hanya menjadi nadi bagi jutaan penduduk Jawa Barat—tetapi juga saksi bisu sejarah, budaya, dan kehidupan yang terus mengalir sejak berabad-abad lalu.—Rachman Karim
Suguhan musikal penuh energi dari kuartet sensasional. 1-2 Nov 2025