Ditemukan secara tak sengaja, padel kini digemari di dunia. Ini sejarahnya.

Sore yang hangat menyelimuti kawasan Canggu, Bali. Di sebuah lapangan di tepi persawahan yang kian terdesak pembangunan, suara bola yang memantul ke dinding kaca bersahut-sahutan di antara gelak tawa dan percakapan santai. Bukan tenis, bukan pula squash. Olahraga unik tersebut adalah padel yang merupakan perpaduan cerdik dari keduanya, sekaligus olahraga sosial yang kini menjalar ke berbagai belahan dunia.

Padel lahir tanpa sengaja pada 1969 dari tangan seorang pengusaha Meksiko bernama Enrique Corcuera. Kala itu, Corcuera ingin memiliki lapangan tenis pribadi di rumahnya di Acapulco, tetapi terbatas oleh ruang. Ia pun membangun lapangan kecil yang dikelilingi dinding dan memodifikasi aturan tenis agar sesuai. Ide iseng itu menarik perhatian para sahabat jetsetnya—termasuk Alfonso de Hohenlohe, bangsawan Spanyol yang kemudian membawa padel ke Marbella, destinasi favorit kaum aristokrat Eropa.

Menjelang akhir 1970-an, padel menjadi kesayangan baru kalangan sosialita di Costa del Sol. Dimainkan secara ganda di lapangan lebih kecil yang dikelilingi dinding kaca dan kawat jala, padel cepat menjadi simbol pergaulan yang santai tapi berkelas. Ritmenya lebih tenang daripada tenis, memberi ruang untuk tawa, percakapan, dan permainan ulang. Tiga hal yang membuatnya serasi dengan gaya hidup Mediterania.

Popularitasnya kemudian meledak di Spanyol dan Argentina, dua negara yang kini dianggap sebagai rumah spiritual padel. Pada awal 2000-an, klub padel bermunculan di kawasan suburban, pusat kota, hingga dalam kompleks resor eksklusif. Daya tariknya kian meluas: penggiat kebugaran menyukai manfaat kardionya, pemain kasual menyukai aksesibilitasnya, dan para penonton menyukai atmosfernya yang penuh gaya.

Yang membedakan padel bukan hanya aturan mainnya (servis bawah tangan, bola boleh memantul dari dinding kaca) melainkan juga budayanya. Padel lebih menekankan ritme dan reaksi ketimbang presisi, serta mendorong nuansa sosial dalam setiap set permainan. Durasi pertandingan yang cenderung singkat—acap kali di bawah satu jam—memberikan waktu ekstra untuk sesi minum selepas pertandingan, yang nyaris menjadi bagian wajib dari olahraga ini.

Kini, padel memasuki era keemasannya di panggung global. Atlet profesional seperti Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, hingga Maria Sharapova tercatat sebagai penggemar setia. Hotel-hotel mewah di Dubai dan Maladewa berlomba membangun lapangan padel sebagai bagian dari fasilitas kebugaran mereka. Di Swedia dan Italia, padel menjadi semacam obsesi urban. Sementara itu, di kota-kota mode seperti Paris dan London, padel tampil bukan hanya sebagai olahraga, melainkan pernyataan gaya hidup.

Indonesia pun tak luput dari demam padel. Diam-diam hadir di Indonesia sesaat sebelum pandemi, padel mulai naik daun pada 2022 saat Bali Padel Academy resmi dibuka dan menggagas terbentuknya Persatuan Padel Seluruh Indonesia. Pada 2024, demam tersebut merembet ke Jakarta didorong oleh antusiasme para profesional muda, pesohor, dan wirausaha yang menggemari kombinasi antara kebugaran dan keakraban sosial. Kini, klub-klub padel berdesain modern bermunculan dari Senayan hingga Seminyak, menawarkan lapangan elegan, daftar putar lagu yang dikurasi, hingga smoothie bar yang sepadan dengan gaya hidup urban masa kini.

Dari sebuah eksperimen sederhana di halaman rumah, padel telah menjelma menjadi simbol gaya hidup global yang modern, santai, dan penuh gaya. Lebih dari sekadar permainan, padel merupakan ajang berjejaring, wadah ekspresi diri, dan bagi sebagian, cara baru untuk melihat dan menikmati hidup.Yohanes Sandy

Calendar of Events

Friends of Prego

Kolaborasi menarik dua master kuliner Italia di Bali. 30 Mei & 6 Jun 2025

Bar Takover Origin Bar Singapura & Nikka Whisky

Grand Hyatt Bali kembali bawa mixologist asal luar negeri. 19 Mei 2025

Seminyak Puppy Yoga

Sebuah sesi olahraga yang menyenangkan dan menenangkan. Mei-Jun 2025

See More