Tempat-Tempat di Jepang yang Menginspirasi Film Ghibli
Jejak nyata di balik karya Hayao Miyazaki.
Teks dan foto: Rachman Karim/TFL Paper
Kesal masih tersisa pada Sabtu pagi itu. Tertinggalnya paspor membuat perjalanan keluarga kami ke Singapura mendadak batal. Untungnya, ayah saya punya rencana cadangan. “Kita ke Pulau Galang hari ini,” ujarnya tenang.
Nama itu terdengar asing di telinga, tapi memantik rasa ingin tahu. Pulau Galang, bagian dari gugusan Pulau Rempang–Galang yang dihubungkan oleh Jembatan Barelang, berjarak sekitar satu setengah jam dari Harbour Bay, Batam. Perjalanan kurang lebih sejauh enam puluh kilometer itu membawa kami melintasi hutan, jalan berliku, dan sunyi yang memeluk.
Pulau ini memang punya pantai-pantai menawan seperti Mirota. Namun, daya tarik sejatinya bukan pada lanskap, melainkan pada kisah—kisah tentang manusia-manusia yang mencari tempat untuk hidup kembali.
Perjuangan Dua Dekade
Lima puluh tahun silam, Pulau Galang menjadi saksi kedatangan ribuan pengungsi dari Vietnam, korban konflik dan pergolakan politik di tanah kelahirannya. Mereka datang dengan perahu kayu, menantang ombak Laut Cina Selatan, mencari kehidupan yang lebih damai. Dunia menyebut mereka boat people—manusia sampan.
Selama hampir dua dekade, kamp pengungsi Galang menjadi rumah sementara bagi mereka yang menunggu penempatan ke Australia, Amerika Serikat, atau Eropa. Fasilitas dibangun secara swadaya—sekolah, rumah sakit, gereja, hingga penjara. Namun, di balik solidaritas, terselip ketegangan dan luka. Konflik, kekerasan, dan gelombang depresi menorehkan duka yang dalam.


Kamp ini resmi ditutup pada 1996, setelah lebih dari 4.000 pengungsi terakhir dipulangkan.
Kini, kisah Galang terasa seperti gema masa lalu—mengingatkan pada wajah-wajah pengungsi Rohingya yang belakangan kerap singgah di pesisir Aceh, sama-sama membawa cerita tentang harapan dan kehilangan.
Sebuah Jejak Kehidupan yang Tersisa
Kami memulai kunjungan di Pagoda Quan Am Tu, kuil yang masih berdiri di puncak bukit. Dari pelatarannya, patung Dewi Kwan Im memandangi hutan dan laut yang membentang jauh, seolah memberkati setiap jiwa yang pernah berlabuh di sini.
Di bawah langit mendung, kami melewati kompleks pemakaman para pengungsi. Suasana hening dan lembab menyelimuti. Tak jauh dari sana, Taman Iman menampilkan Jalan Salib, menegaskan bahwa keyakinan pernah menjadi satu-satunya sandaran di tengah keterasingan.


Museum Wisata Sejarah Galang Batam menjadi pemberhentian berikutnya. Bangunannya sederhana, bekas sekolah yang kini berfungsi sebagai ruang kenangan. Di dalamnya, tergantung potret hitam putih, sepeda motor tua, alat makan, dan buku-buku berbahasa Vietnam. Sebuah jejak kehidupan yang tersisa.
Tak jauh dari museum, sebuah perahu kayu asli milik pengungsi dipamerkan. Perahu kecil yang pernah mengangkut seratus jiwa melintasi lautan ganas, simbol keteguhan yang nyaris tak masuk akal. Di sudut lain berdiri Humanity Statue, monumen yang dibuat oleh para pengungsi untuk mengenang Tinh Nhan, seorang perempuan yang mengakhiri hidupnya setelah mengalami kekerasan. Di sinilah batas antara sejarah dan kesedihan terasa begitu tipis.

Sebelum kembali, kami singgah di Gereja Katolik Immaculate Conception Mary. Pintu kayunya terbuka lebar, tapi tak ada siapa pun di dalam. Di luar, patung Santo Yohannes Bosco berdiri, seolah menyambut siapa saja yang datang bukan untuk berdoa, tapi untuk mengingat.
Reruntuhan barak, gereja Protestan, dan rumah-rumah sederhana kini dibiarkan dikuasai semak. Alam perlahan menelan luka, tapi tidak sepenuhnya menghapusnya.
Dalam perjalanan pulang, kami berhenti di sebuah kafe sederhana, Cafe Zore. Dari kursi kayu di halaman belakang, saya menatap kebun buah naga sambil menyesap jus segar. Di balik ketenangan sore itu, tersimpan kesadaran baru: bahwa Pulau Galang bukan sekadar destinasi wisata sejarah, melainkan monumen hidup tentang kemanusiaan—tentang bagaimana manusia, di mana pun asalnya, selalu berjuang untuk menemukan tempat yang bisa disebut rumah.—Rachman Karim
Suguhan musikal penuh energi dari kuartet sensasional. 1-2 Nov 2025
Sebuah tribut bagi sang diva dan perjalanan kariernya. 4 Okt 2025
Salah satu bursa seni terbesar di Indonesia yang tak boleh dilewatkan. 3-5 Okt 2025