Hotel Indigo Bali Seminyak Beach Kembali Hadirkan Puppy Yoga
Program unik yang juga berkontribusi terhadap perlindungan hewan di Bali.
Foto utama: Seorang pendaki wanita di Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat. Roman Odintsov
Di antara ritme kota yang riuh dan tuntutan digital yang tak kenal jeda, generasi milenial—dalam diam—menggenggam kelelahan. Dari notifikasi yang nyaris tanpa henti hingga layar yang tak pernah benar-benar gelap, tubuh dan pikiran butuh jeda. Dan sebagian dari mereka menemukan ruang pulih itu bukan di spa, bukan pula di kamar hotel yang nyaman, melainkan di jalur setapak, di balik rindang pepohonan, dalam langkah mendaki.
Mendaki kini tak lagi semata soal menaklukkan puncak. Ia menjelma ritual perenungan, pelarian yang bersifat pribadi, nyaris spiritual. Tanpa podium dan tanpa penonton, para pejalan mendaki bukan untuk meraih rekor, melainkan untuk menemukan jeda—dan kadang, diri sendiri.
Menemukan Diri di Negeri Sendiri
Indonesia, dengan bentang alam yang tak pernah habis diceritakan, menawarkan banyak tempat untuk memulai. Di Lombok Timur, Bukit Pergasingan menyambut pagi dengan palet warna hijau dan kabut yang menggantung lembut. Jalurnya bersahabat, cocok bagi mereka yang baru memulai kebiasaan ini.
Papandayan di Garut, tak jauh dari Jakarta, memanjakan mata dengan padang edelweis dan kawah aktif yang mengepul tenang. Sementara di Bali, jauh dari keramaian Seminyak dan pesta tak berkesudahan di Canggu, Taman Nasional Bali Barat menghadirkan keheningan dalam jalur trekking yang tenang—tempat di mana burung langka bernyanyi lebih keras dari notifikasi ponsel Anda.
Mereka yang ingin tantangan lebih bisa menyapa Rinjani. Namun tak perlu memaksakan puncak. Mendaki menuju Danau Segara Anak pun cukup untuk merasakan sensasi berada di alam yang begitu agung dan nyaris tak tersentuh.
Asia Tenggara: Hutan Berkabut dan Desa yang Diam
Di luar negeri, pilihan tak kalah menggoda. Di jantung Semenanjung Malaysia, Cameron Highlands menjadi oase berkabut yang menyatu dengan kebun teh dan nuansa kolonial. Jalur hutan yang teduh membuat setiap langkah terasa seperti menyusuri lembar novel lama.
Chiang Mai di Thailand menyimpan Doi Inthanon National Park—puncak tertinggi Negeri Gajah Putih—di mana air terjun, lumut, dan kabut pagi bersatu membentuk lanskap yang meluruhkan penat.
Luang Prabang di Laos menawarkan sesuatu yang berbeda: jalur-jalur yang tak hanya menyejukkan fisik, tetapi juga membuka kesempatan untuk berjumpa desa-desa tradisional, menyesap budaya dalam langkah perlahan.
Dan bagi mereka yang mencari kesunyian dengan nada spiritual, Kumano Kodo di Jepang menyuguhkan lebih dari sekadar lanskap. Ini adalah ziarah bagi jiwa, dengan hutan purba sebagai saksi dan kuil-kuil tua sebagai penanda perjalanan batin yang penuh makna.
Eropa: Ziarah Modern dalam Langkah Panjang
Jika waktu dan bujet tak membatasi, Eropa menghadirkan mimpi yang lain. Bukan hanya Swiss dengan Alpen megahnya atau Dolomites yang menggoda fotografer dunia, tetapi juga Camino de Santiago di Spanyol—jalur kuno yang kini menjadi ikon slow travel. Di sini, para pejalan dari seluruh dunia berjalan dalam diam, dalam harap, atau sekadar untuk mengenal ulang dirinya sendiri.
Berjalan untuk Bertumbuh
Tak perlu perlengkapan canggih atau pengalaman bertahun-tahun untuk memulai. Acap kali, yang kita butuhkan hanyalah sepatu nyaman, air minum, dan kemauan untuk menutup ponsel selama beberapa jam. Jalur-jalur yang kami sarankan bukan sekadar soal destinasi, melainkan tentang apa yang berubah di dalam diri selama kita menapaki tanah dan mendengarkan alam.
Bagi generasi yang tumbuh dalam kecepatan, mungkin inilah bentuk perlawanan yang paling lembut: berjalan lebih lambat, lebih hening, lebih dekat pada alam—dan pada akhirnya, lebih jujur pada diri sendiri.—Yohanes Sandy
Grand Hyatt Bali kembali bawa mixologist asal luar negeri. 19 Mei 2025